BAB 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Peran korporasi sudah sedemikian luasnya dalam kehidupan masyarakat. Hampir seluruh aspek kehidupan melibatkan korporasi di dalamnya. Korporasi bergerak di berbagai bidang seperti perbankan, industri pertanian, pada perusahaan-perusahaan yang besar maupun yang kecil. Tujuan dari korporasi adalah untuk terus meningkatkan keuntungan yang di perolehnya tanpa memikirkan hukum yang ada. Kebanyakan perusahaan yang melakukan korporasi tidak mengindahkan kerugian yang dapat dihasilkan, seperti melangar hukum, bahkan memunculkan korban yang menderita kerugian.
Korporasi sebagai alat yang digunakan untuk memperoleh keuntungan pribadi tanpa perlu adannya pertanggung jawaban. Pada berbagai sektor perekonomian, dapat ditemukan satu contoh pelanggaran korporasi yang telah menimbulkan banyak kerugian dan kerusakan. Walaupun terdapat berbagai bukti yang menunjukkan adanya kejahatan korporasi, namun hukuman atas tindakan tersebut selalu terabaikan. Kejahatan korporasi yang telah terjadi pada berbagai perusahaan di masa lalu dapat hidup kembali.
Kejahatan korporasi yang biasanya berbentuk kejahatan kerah putih (white collar crime), umumnya dilakukan oleh suatu perusahaan atau badan hukum yang bergerak pada bidang bisnis dengan berbagai tindakan yang bertentangan dengan hukum pidana yang berlaku. Berdasarkan pada masalah yang sering terjadi dapat ditemukan identifikasi kejahatan-kejahatan korporasi seperti pelanggaran undang-undang monopoli, penipuan melalui komputer, pembayaran pajak dan cukai, pelanggaran ketentuan harga, produksi barang, korupsi, penyuapan dan masih banyak lagi. Apapun kejahatan yang dilakukan pasti menimbulkan kerugian, baik kerugian material maupun moril. Untuk itu sebaikanya kejahatan korporasi dapat di cegah agar tidak meluas dan semakin menjadi.
BAB II Landasan Teori
2.1 Pengertian kejahatan Korporasi
Akibat semakin dirasakannya dampat negatif yang disebabkan oleh kegiatan korporasi, maka negara-negara maju khususnya yang perekonomiannya baik mulai mencari cara untuk bisa meminimalisir atau mencegah dampak tersebut salahsatunya dengan menggunakan istrumen hukum pidana (bagian dari hukum publik). Sebenarnya kejahatan korporasi (corporate crime) sudah dikenal lama dalam ilmu kriminologi. Di kriminologi sendiri corporate crime merupakan bagian dari kejahatan kerah putih (white collar crime). White collar crime sendiri diperkenalkan oleh pakar kriminologi terkenal yaitu E.H. Sutherland (1883-1950) dalam pidato bersejarahnya yang dipresentasikan "...at the thirty-fourth annual meeting of the American Sociological Society ini Philadelphia on 27 December 1939". semenjak itu banyak pakar hukum maupun kriminologi mengembangkan konsep tersebut.
Dalam perjalanannya pemikiran mengenai corporate crime, banyak menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum khususnya hukum pidana. Di hukum pidana ada doktrin yang berkembang yaitu doktrin ''universitas delinquere non potest'' (korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana), ini dipengaruhi pemikiran, bahwa keberadaan korporasi di dalam hukum pidana hanyalah fiksi hukum yang tidak mempunyai mind, sehingga tidak mempunyai suatu nilai moral yang disyaratkan untuk dapat dipersalahkan secara pidana (unsur kesalahan). Padahal dalam suatu delik/Tindak pidana mensyaratkan adanya kesalahan (mens rea) selain adanya perbuatan (actus reus) atau dikenal dengan ''actus non facit reum, nisi mens sit rea''.
Namun masalah ini sebenarnya tidak menjadi masalah oleh kalangan yang pro terhadap pemikiran corporate crime. Menurut Mardjono Reksodiputro ada dua hal yang harus diperhatikan dalam menentukan tindak pidana korporasi yaitu, pertama tentang perbuatan pengurus (atau orang lain) yang harus dikonstruksikan sebagai perbuatan korporasi dan kedua tentang kesalahan pada korporasi. Menurut pendapat beliau, hal yang pertama untuk dapat dikonstruksikan suatu perbuatan pengurus adalah juga perbuatan korporasi maka digunakanlah “asas identifikasi” . Dengan asas tersebut maka perbuatan pengurus atau pegawai suatu korporasi, diidentifikasikan (dipersamakan) dengan perbuatan korporasi itu sendiri. Untuk hal yang kedua, memang selama ini dalam ilmu hukum pidana gambaran tentang pelaku tindak pidana masih sering dikaitkan dengan perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pembuat (fysieke dader) namun hal ini dapat diatasi dengan ajaran “pelaku fungsional” (functionele dader) . Dengan kita dapat membuktikan bahwa perbuatan pengurus atau pegawai korporasi itu dalam lalu lintas bermasyarakat berlaku sebagai perbuatan korporasi yang bersangkutan maka kesalahan (dolus atau culpa) mereka harus dianggap sebagai keasalahan korporasi.
Di negara-negara Common Law System seperti Amerika, Inggris, dan Kanada upaya untuk membebankan pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal liability) sudah dilakukan pada saat Revolusi Industri. Menurut Remy Sjahdeini ada dua ajaran pokok yang menjadi bagi pembenaran dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Ajaran-ajaran tersebut adalah doctrine of strict liability dan ''doctrine of vicarious liability''. Berdasarkan ajaran strict liability pelaku tindak pidana dapat diminta pertanggungjawabannya tanpa disyaratkannya adanya kesalahan sedangkan menurut ajaran vicarious liability dimungkinkan adanya pembebanan pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang dilakukan, misalnya oleh A kepada B.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia memang hanya menetapkan bahwa yang menjadi subjek tindak pidana adalah orang persorangan (legal persoon). Pembuat undang-undang dalam merumuskan delik harus memperhitungkan bahwa manusia melakukan tindakan di dalam atau melalui organisasi yang, dalam hukum keperdataan maupun di luarnya (misalnya dalam hukum administrasi), muncul sebagai satu kesatuan dan karena itu diakui serta mendapat perlakuan sebagai badan hukum atau korporasi. Berdasarkan KUHP, pembuat undang-undang akan merujuk pada pengurus atau komisaris korporasi jika mereka berhadapan dengan situasi seperti itu. [8] Sehingga, jika KUHP Indonesia saat ini tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk pertanggungjawaban pidana oleh korporasi, namun hanya dimungkinkan pertanggungjawaban oleh pengurus korporasi. Hal ini bisa kita lihat dalam pasal 398 KUHP yang menyatakan bahwa jika seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau perkumpulan korporasi yang dinyatakan dalam keadaan pailit atau yang diperintahkan penyelesaian oleh pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun 4 bulan: 1. jika yang bersangkutan turut membantu atau mengizinkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasar, sehingga oleh karena itu seluruh atau sebagian besar dari kerugian diderita oleh perseroan, maskapai, atau perkumpulan…(dan seterusnya).
Di Belanda sendiri, sebagai tempat asal KUHP Indonesia, pada tanggal 23 Juni 1976, korporasi diresmikan sebagai subjek hukum pidana dan ketentuan ini dimasukkan kedalam pasal 51 KUHP Belanda (Sr.), yang isinya menyatakan antara lain:
1. Tindak pidana dapat dilakukan baik oleh perorangan maupun korporasi;
2. Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi, penuntutan pidana dapat dijalankan dan sanksi pidana maupun tindakan yang disediakan dalam perundang-undangan—sepanjang berkenaan dengan korporasi—dapat dijatuhkan.
Dalam hal ini, pengenaan sanksi dapat dilakukan terhadap korporasi sendiri, atau mereka yang secara faktual memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana yang dimaksud, termasuk mereka yang secara faktual memimpin pelaksanaan tindak pidana dimaksud, atau korporasi atau mereka yang dimaksud di atas bersama-sama secara tanggung renteng.
Meskipun KUHP Indonesia saat ini tidak mengikutsertakan korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, namun korporasi mulai diposisikan sebagai subyek hukum pidana dengan ditetapkannya UU No.7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
Kemudian kejahatan korporasi juga diatur dan tersebar dalam berbagai undang-undang khusus lainnya dengan rumusan yang berbeda-beda mengenai “korporasi”, antara lain termasuk pengertian badan usaha, perseroan, perusahaan, perkumpulan, yayasan, perserikatan, organisasi, dan lain-lain, seperti :
• UU No.11/PNPS/1964 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi
• UU No.38/2004 tentang Jalan
• UU No.31/1999 jo. UU No.21 tahunn 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
• dan lain-lain
Dalam literatur Indonesia juga ditemukan pandangan yang turut untuk mewacanakan menempatkan korporasi sebagai subyek hukum pidana. Seperti misalnya Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH, dalam bukunya “Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia”, menyatakan :
Dengan adanya perkumpulan-perkumpulan dari orang-orang, yang sebagai badan hukum turut serta dalam pergaulan hidup kemasyarakatan, timbul gejala-gejala dari perkumpulan itu, yang apabila dilakukan oleh oknum, terang masuk perumusan pelbagai tindak pidana. Dalam hal ini, sebagai perwakilan, yang kena hukuman pidana adalah oknum lagi, yaitu orang-orang yang berfungsi sebagai pengurus dari badan hukum, seperti misalnya seorang direktur dari suatu perseroan terbatas, yang dipertanggungjawabkan. Sedangkan mungkin sekali seorang direktur itu hanya melakukan saja putusan dari dewan direksi. Maka timbul dan kemudian merata gagasan, bahwa juga suatu perkumpulan sebagai badan tersendiri dapat dikenakan hukuman pidana sebagai subyek suatu tindak pidana.
Di Indonesia, salah satu peraturan yang mempidanakan kejahatan korporasi adalah Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Hal ini dapat dilihat dari isi pasal 46 yang mengadopsi doktrin vicarious liability.
Meskipun tidak digariskan secara jelas seperti dalam KUHP Belanda, berdasarkan sistem hukum pidana di Indonesia pada saat ini terdapat 3 bentuk pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan korporasi berdasarkan regulasi yang sudah ada, yaitu dibebankan pada korporasi itu sendiri, seperti diatur dalam Pasal 65 ayat 1 dan 2 UU No.38/2004 tentang Jalan. Kemudian dapat pula dibebankan kepada organ atau pengurus korporasi yang melakukan perbuatan atau mereka yang bertindak sebagai pemimpin dalam melakukan tindak pindana, seperti yang diatur dalam pasal 20 ayat 2 UU No.31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan UU No.31/2004 tentang Perikanan. Kemudian kemungkinan berikutnya adala dapat dibebankan baik kepada pengurus korporasi sebagai pemberi perintah atau pemimpin dan juga dibebankan kepada koorporasi, contohnya seperti dalam pasal 20 ayat 1 UU No.31/1999.
BAB III Pembahasan
3.1 Contoh Kasus Kejahatan Korporasi
DUGAAN PENGGELAPAN PAJAK IM3
IM3 diduga melakukan penggelapan pajak dengan cara memanipulasi Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai ( SPT Masa PPN) ke kantor pajak untuk tahun buku Desember 2001 dan Desember 2002. Jika pajak masukan lebih besar dari pajak keluaran, dapat direstitusi atau ditarik kembali. Karena itu, IM3 melakukan restitusi sebesar Rp 65,7 miliar.
750 penanam modal asing (PMA) terindikasi tidak membayar pajak dengan cara melaporkan rugi selama lima tahun terakhir secara berturut-turut. Dalam kasus ini terungkap bahwa pihak manajemen berkonspirasi dengan para pejabat tinggi negara dan otoritas terkait dalam melakukan penipuan akuntansi.
Manajemen juga melakukan konspirasi dengan auditor dari kantor akuntan publik dalam melakukan manipulasi laba yang menguntungkan dirinya dan korporasi, sehingga merugikan banyak pihak dan pemerintah. Kemungkinan telah terjadi mekanisme penyuapan (bribery) dalam kasus tersebut.
3.2 Analisis Kasus
Jika dilihat dari contoh kasus diatas telah terjadi kerjasama antara orang dalam pada perusahaan IM3 dengan pegawai pajak sehingga IM3 bisa menggelapkan dana dan memanipulasi SPT masa PPn di kantor pajak. Pihak pemerintah dan DPR perlu segera membentuk tim auditor independen yang kompeten dan kredibel untuk melakukan audit investigatif atau audit forensik untuk membedah laporan keuangan dari 750 PMA yang tidak membayar pajak. Korporasi multinasional yang secara sengaja terbukti tidak memenuhi kewajiban ekonomi, hukum, dan sosialnya bisa dicabut izin operasinya dan dilarang beroperasi di negara berkembang. Agar tidak terulang masalah yang sama dan merugikan pihak lainnya.
BAB IV Kesimpulan Dan Saran
4.1 Kesimpulan
Dalam menjalankan bisnis pada perusahaan jangan sesekali melakukan kejahatan korporasi seperti menggelapkan pajak. Seharusnya kewajiban untuk membayar pajak harus dilakukan dengan benar. Jangan mementingkan urusan pribadi untuk medapatkan keuntungan yang lebih agar perusahaan dapat bertahan dan terus jaya. Lakukan lah sesuai dengan etika yang berlaku.
4.2 Saran
Bagi perusahaan yang melakukan kejahatan korporasi di beri hukuman serta sanksi yang tegas, supaya tidak mengulangi kesalahan yang sama. Apalagi yang berhubungan dengan pajak harus di berantas karena merugikan negara dan masyarakat.
Daftar Pustaka:
http://bismar.wordpress.com/2009/12/23/kejahatan-korporasi/
http://id.wikipedia.org/wiki/Pertanggungjawaban_korporasi
http://www.ercolaw.com/index.php?option=com_content&view=article&id=65:perbuatan-pengurus-dan-pertanggungjawaban-korporasi&catid=25:the-project&Itemid=50
http://www.tempo.co/read/news/2003/11/04/05627427/Ditjen-Pajak-Akan-Usut-Dugaan-Penggelapan-Pajak-IM3
http://andyaksalawclinic.blogspot.com/2011/05/kejahatan-korporasi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar