JellyPages.com

Kamis, 28 November 2013

Perusahaan yang menerapkan Etika Utilitarianisme atau CSR

BAB 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Dalam aktivitasnya setiap perusahaan akan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Akibat dari interaksi itu menuntut adanya timbal balik antara perusahaan dan lingkungan sosialnya yang berimbas pada timbulnya dampak-dampak sosial atas kegiatan operasi perusahaan pada lingkungannya. Sepanjang perusahaan menggunakan sumber daya manusia dan komunitas yang ada, maka perusahaan memiliki tanggung jawab untuk menghasilkan profit dan mengembalikan sebagian profit tersebut bagi masyarakat. Penerapan CSR telah banyak dilakukan oleh korporasi-korporasi di Indonesia, korporasi tersebut menganggarkan anggaran khusus guna menjalankan aktivitas dan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat dan lingkungannya. Namun demikian CSR jangan dipandang sebagai beban yang membengkakkan pengeluaran perusahaan tetapi harus dianggap sebagai investasi yang akan menguntungkan bagi keberadaan perusahaan di masa datang.
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responbility atau disingkat menjadi CSR adalah suatu Konsep Organisasi khususnya, (namun bukan hanya) perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan.
Oleh karena itu dalam rangka penerapan CSR sudah saatnya semua perusahaan untuk melaporkan dan mengungkapkan semua kegiatan bisnisnya dan dampak dari kegiatan ekonomi yang dilakukan perusahaan terhadap lingkungannya. Semuanya ini bisa dilakukan melalui laporan pertanggungjawaban sosial atau corporate social responsibility disclosure. Menerapkan CSR pada perusahaan berarti perusahaan tersebut telah memiliki kepedulian sosial terhadap lingkungan sekitar dan masyarakat umum.
BAB II Landasan Teori
2.1 Pengertian Etika Utilitarianisme
Utilitarianisme pertama kali dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Persoalan yang dihadapi oleh Bentham dan orang-orang sezamannya adalah bagaimana menilai baik buruknya suatu kebijaksanaan sosial politik, ekonomi, dan legal secara moral. Singkatnya, bagaimana menilai sebuah kebijaksanaan publik, yaitu kebijaksanaan yang punya dampak bagi kepentingan banyak orang, secara mora
l Criteria dan Prinsip Etika Utilitarianisme
Criteria pertama adalah manfaat , yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat atau kegunaan tertentu. Jadi, kebijaksanaan atau tindakan yang baik adalah yang menghasilkan hal yang baik. Sebaliknya, kebijaksanaan atau tindakan yang tidak baik adalah yang mendatangkan kerugian tertentu.
Criteria kedua adalah manfaat terbesar, yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat terbesar (atau dalam situasi tertentu lebih besar)dibandingkan dengan kebijaksanaan atau tindakan alternative lainnya.
Criteria ketiga adalah manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang, yaitu dengan kata lain suatu kebijaksanaan atau tindakan yang baik dan tepat dari segi etis menurut etika utilitarianisme adalah kebijaksanaan atau tindakan yang membawa manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang atau sebaliknya membawa akibat merugikan yang sekecil mungkin bagi sedikit mungkin orang.
Secara padat ketiga prinsip itu dapat dirumuskan sebagai berikut: Bertindaklah sedemikian rupa sehingga tindakanmu itu mendatangkan keuntungan sebesar mungkin bagi sebanyak mungkin orang.
Nilai Positif Etika Utilitarianisme
a) Rasionalitas, prinsip moral yang diajukan oleh etika utilitarianisme ini tidak didasarkan pada aturan-aturan kaku yang mungkin tidak kita pahami dan yang tidak bias kita persoalkan keabsahannya.
b) Dalam kaitannya dengan itu, utilitarianisme sangant menghargai kebebasan setiap pelaku moral. Setiap orang dibiarkan bebas untuk mengambil keputusan dan bertindak dengan hanya memberinya ketiga criteria objektif dan rasional tadi.
c) Universalitas, yaitu berbeda dengan etika teleologi lainnya yang terutama menekankan manfaat bagi diri sendiri atau kelompok sendiri, utilitarianisme justru mengutamakan manfaat atau akibat baik dari suatu tindakan bagi banyak orang.
Utilitarianisme sebagai Proses dan sebagai Standar Penilaian
a) Etika utilitarianisme dipakai sebagai proses untuk mengambil sebuah keputusan, kebijaksanaan, ataupun untuk bertindak. Dengan kata lain, etika utilitarianisme dipakai sebagai prosedur untuk mengambil keputusan. Ia menjadi sebuah metode untuk bisa mengambil keputusan yang tepat tentang tindakan atau kebijaksanaan yang akan dilakukan.
b) Etika utilitarianisme juga dipakai sebagai standar penilaian bai tindakan atau kebijaksanaan yang telah dilakukan. Dalam hal ini, ketiga criteria di atas lalu benar-benar dipakai sebagai criteria untuk menilai apakah suatu tindakan atau kebijaksanaan yang telah dilakukan memang baik atau tidak. Yang paling pokok adalah menilai tindakan atau kebijaksanaan yang telah terjadi berdasarkan akibat atau konsekuensinya yaitu sejauh mana ia mendatangkan hasil terbaik bagi banyak orang.
BAB III Pembahasan
3.1 Contoh Perusahaan yang telah menerapkan etika utilitarianisme atau CSR
PT. UNILEVER INDONESIA
Sejak didirikan pada 5 Desember 1933Unilever Indonesia telah tumbuh menjadi salah satu perusahaan terdepan untuk produk Home and Personal Care serta Foods & Ice Cream di Indonesia. Rangkaian Produk Unilever Indonesia mencangkup brand-brand ternama yang disukai di dunia seperti Pepsodent, Lux, Lifebuoy, Dove, Sunsilk, Clear, Rexona, Vaseline, Rinso, Molto, Sunlight, Walls, Blue Band, Royco, Bango, dan lain-lain.
Tujuan perusahaan tetap sama,
1. dimana kami bekerja untuk menciptakan masa depan yang lebih baik setiap hari.
2. membuat pelanggan merasa nyaman, berpenampilan baik dan lebih menikmati kehidupan melalui brand dan jasa yang memberikan manfaat untuk mereka maupun orang lain.
3. menginspirasi masyarakat untuk melakukan tindakan kecil setiap harinya yang bila digabungkan akan membuat perubahan besar bagi dunia.
4. dan senantiasa mengembangkan cara baru dalam berbisnis yang memungkinkan kami untuk tumbuh sekaligus mengurangi dampak lingkungan.
Bagi Unilever, sumber daya manusia adalah pusat dari seluruh aktivitas perseroan. Kami memberikan prioritas pada mereka dalam pengembangan profesionalisme, keseimbangan kehidupan, dan kemampuan mereka untuk berkontribusi pada perusahaan.
Sebagai perusahaan yang mempunyai tanggung jawab sosial, Unilever Indonesia menjalankan program Corporate Social Responsibility (CSR) yang luas. Keempat pilar program kami adalah Lingkungan, Nutrisi, Higiene dan Pertanian Berkelanjutan. Program CSR termasuk antara lain kampanye Cuci Tangan dengan Sabun (Lifebuoy), program Edukasi kesehatan Gigi dan Mulut (Pepsodent), program Pelestarian Makanan Tradisional (Bango) serta program Memerangi Kelaparan untuk membantu anak Indonesia yang kekurangan gizi (Blue Band).
Unilever Indonesia Memiliki Visi :
Empat pilar utama dari visi kami menggambarkan arah jangka panjang dari perusahaan kemana tujuan kami dan bagaimana kami menuju ke arah sana. 1. Kami bekerja untuk membangun masa depan yang lebih baik setiap hari
2. Kami membantu orang-orang merasa nyaman, berpenampilan baik dan lebih menikmati kehidupan dengan brand dan pelayanan yang baik bagi mereka dan bagi orang lain
3. Kami menjadi sumber inspirasi orang-orang untuk melakukan hal kecil setiap hari yang dapat membuat perbedaan besar bagi dunia
4. Kami akan mengembangkan cara baru dalam melakukan bisnis dengan tujuan membesarkan perusahaan kami dua kali lipat sambil mengurangi dampak lingkungan.
Kami selalu percaya akan kekuatan brand kami dalam meningkatkan kualitas kehidupan orang-orang dan dalam melakukan hal yang benar. Semakin bertumbuhnya bisnis kami, meningkat pula tanggung jawab kami. Kami mengenali tantangan global seperti perubahan iklim yang menjadi kepedulian kita bersama. Mempertimbangkan dampak yang lebih luas dari tindakan kami selalu menyatu dalam nilai-nilai kami dan merupakan bagian fundamental mengenai siapa diri kami.
3.2 Analisis Kasus
Jika dilihat dari contoh kasus perusahaan yang telah menerapkan etika ultilitarianisme atau CSR (Corporate Social Responsibility) pada PT. Unilever Indonesia. PT. Unilever Indonesia telah menerapkan CSR pada:
a. Cuci Tangan dengan Sabun (Lifebuoy),
b. program Edukasi kesehatan Gigi dan Mulut (Pepsodent),
c. program Pelestarian Makanan Tradisional (Bango)
d. serta program Memerangi Kelaparan untuk membantu anak Indonesia yang kekurangan gizi (Blue Band).
Program-program yang dibuat oleh PT. Unilever Indonesia sangat bermanfaat untuk masyarakat luas, seperti contohnya pada program “cuci tangan dengan sabun (lifeboy)” dengan menerapkan program ini pada keseharian maka masyarakat telah dengan sendirinya menjaga kesehatan nya. Dengan mencuci tangan maka kuman-kuman penyakit akan hilang. Berarti perusahaan ini tidak hanya mengambil keuntungan untuk perusahaannya saja, tetapi juga perusahaan melakukan kepedulian terhadap sosial dan konsumen atau masyarakat umum.
BAB IV Kesimpulan Dan Saran
4.1 Kesimpulan
Dalam menjalankan bisnis pada perusahaan jangan saja mementingkan kepentingan perusahaannya saja seperti memperoleh laba yang banyak tanpa memikirkan sekitar, tetapi perusahaan harus menerapkan CSR (Corporate Social Responsibility). Seperti yang diterapkan dalam perusahaan PT. Unilever Indonesia dengan memiliki visi “Kami menjadi sumber inspirasi orang-orang untuk melakukan hal kecil setiap hari yang dapat membuat perbedaan besar bagi dunia”. Hal ini berarti perushaan telah melakukan kepedulian terhadap sosial dan konsumen atau masyarakat umum. PT. Unilever Indonesia bisa dijadikan salah satu contoh perusahaan yang telah menggunakan etika utilitarianisme atau CSR.
4.2 Saran
Sarannya untuk PT. Unilever Indonesia terus menerapkan CSR pada perusahaannya, munculkan program-program yang baru lagi yang bermanfaat untuk masyarakat umum. Perusahaan yang belum menerapkan CSR pada perusahaannya bisa melihat contoh yang telah di terapkan pada PT. Unilever Indonesia. Etika ini sangat bermanfaat untuk perusahaan dan juga masyarakat sekitarnya.
Daftar Pustaka:
Dr. Keraf, A. Sonny. 2006. Etika Bisnis: Tuntutan dan Relevansinya. Yogyakarta: Kanisius Penulis, analis kebijakan sosial dan konsultan CSR, Pembantu Ketua I Bidang Akademik STKS
http://kholisul.mhs.narotama.ac.id/2012/01/03/uas-etika-bisnis/
http://www.unilever.co.id/id/aboutus/introductiontounilever/
http://rhynanana.blogspot.com/2013/11/perusahaan-yang-telah-menerapkan.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Tanggung_jawab_sosial_perusahaan )

Sabtu, 09 November 2013

Kejahatan Korporasi

BAB 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Peran korporasi sudah sedemikian luasnya dalam kehidupan masyarakat. Hampir seluruh aspek kehidupan melibatkan korporasi di dalamnya. Korporasi bergerak di berbagai bidang seperti perbankan, industri pertanian, pada perusahaan-perusahaan yang besar maupun yang kecil. Tujuan dari korporasi adalah untuk terus meningkatkan keuntungan yang di perolehnya tanpa memikirkan hukum yang ada. Kebanyakan perusahaan yang melakukan korporasi tidak mengindahkan kerugian yang dapat dihasilkan, seperti melangar hukum, bahkan memunculkan korban yang menderita kerugian.
Korporasi sebagai alat yang digunakan untuk memperoleh keuntungan pribadi tanpa perlu adannya pertanggung jawaban. Pada berbagai sektor perekonomian, dapat ditemukan satu contoh pelanggaran korporasi yang telah menimbulkan banyak kerugian dan kerusakan. Walaupun terdapat berbagai bukti yang menunjukkan adanya kejahatan korporasi, namun hukuman atas tindakan tersebut selalu terabaikan. Kejahatan korporasi yang telah terjadi pada berbagai perusahaan di masa lalu dapat hidup kembali.
Kejahatan korporasi yang biasanya berbentuk kejahatan kerah putih (white collar crime), umumnya dilakukan oleh suatu perusahaan atau badan hukum yang bergerak pada bidang bisnis dengan berbagai tindakan yang bertentangan dengan hukum pidana yang berlaku. Berdasarkan pada masalah yang sering terjadi dapat ditemukan identifikasi kejahatan-kejahatan korporasi seperti pelanggaran undang-undang monopoli, penipuan melalui komputer, pembayaran pajak dan cukai, pelanggaran ketentuan harga, produksi barang, korupsi, penyuapan dan masih banyak lagi. Apapun kejahatan yang dilakukan pasti menimbulkan kerugian, baik kerugian material maupun moril. Untuk itu sebaikanya kejahatan korporasi dapat di cegah agar tidak meluas dan semakin menjadi.
BAB II Landasan Teori
2.1 Pengertian kejahatan Korporasi
Akibat semakin dirasakannya dampat negatif yang disebabkan oleh kegiatan korporasi, maka negara-negara maju khususnya yang perekonomiannya baik mulai mencari cara untuk bisa meminimalisir atau mencegah dampak tersebut salahsatunya dengan menggunakan istrumen hukum pidana (bagian dari hukum publik). Sebenarnya kejahatan korporasi (corporate crime) sudah dikenal lama dalam ilmu kriminologi. Di kriminologi sendiri corporate crime merupakan bagian dari kejahatan kerah putih (white collar crime). White collar crime sendiri diperkenalkan oleh pakar kriminologi terkenal yaitu E.H. Sutherland (1883-1950) dalam pidato bersejarahnya yang dipresentasikan "...at the thirty-fourth annual meeting of the American Sociological Society ini Philadelphia on 27 December 1939". semenjak itu banyak pakar hukum maupun kriminologi mengembangkan konsep tersebut.
Dalam perjalanannya pemikiran mengenai corporate crime, banyak menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum khususnya hukum pidana. Di hukum pidana ada doktrin yang berkembang yaitu doktrin ''universitas delinquere non potest'' (korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana), ini dipengaruhi pemikiran, bahwa keberadaan korporasi di dalam hukum pidana hanyalah fiksi hukum yang tidak mempunyai mind, sehingga tidak mempunyai suatu nilai moral yang disyaratkan untuk dapat dipersalahkan secara pidana (unsur kesalahan). Padahal dalam suatu delik/Tindak pidana mensyaratkan adanya kesalahan (mens rea) selain adanya perbuatan (actus reus) atau dikenal dengan ''actus non facit reum, nisi mens sit rea''.
Namun masalah ini sebenarnya tidak menjadi masalah oleh kalangan yang pro terhadap pemikiran corporate crime. Menurut Mardjono Reksodiputro ada dua hal yang harus diperhatikan dalam menentukan tindak pidana korporasi yaitu, pertama tentang perbuatan pengurus (atau orang lain) yang harus dikonstruksikan sebagai perbuatan korporasi dan kedua tentang kesalahan pada korporasi. Menurut pendapat beliau, hal yang pertama untuk dapat dikonstruksikan suatu perbuatan pengurus adalah juga perbuatan korporasi maka digunakanlah “asas identifikasi” . Dengan asas tersebut maka perbuatan pengurus atau pegawai suatu korporasi, diidentifikasikan (dipersamakan) dengan perbuatan korporasi itu sendiri. Untuk hal yang kedua, memang selama ini dalam ilmu hukum pidana gambaran tentang pelaku tindak pidana masih sering dikaitkan dengan perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pembuat (fysieke dader) namun hal ini dapat diatasi dengan ajaran “pelaku fungsional” (functionele dader) . Dengan kita dapat membuktikan bahwa perbuatan pengurus atau pegawai korporasi itu dalam lalu lintas bermasyarakat berlaku sebagai perbuatan korporasi yang bersangkutan maka kesalahan (dolus atau culpa) mereka harus dianggap sebagai keasalahan korporasi. Di negara-negara Common Law System seperti Amerika, Inggris, dan Kanada upaya untuk membebankan pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal liability) sudah dilakukan pada saat Revolusi Industri. Menurut Remy Sjahdeini ada dua ajaran pokok yang menjadi bagi pembenaran dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Ajaran-ajaran tersebut adalah doctrine of strict liability dan ''doctrine of vicarious liability''. Berdasarkan ajaran strict liability pelaku tindak pidana dapat diminta pertanggungjawabannya tanpa disyaratkannya adanya kesalahan sedangkan menurut ajaran vicarious liability dimungkinkan adanya pembebanan pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang dilakukan, misalnya oleh A kepada B.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia memang hanya menetapkan bahwa yang menjadi subjek tindak pidana adalah orang persorangan (legal persoon). Pembuat undang-undang dalam merumuskan delik harus memperhitungkan bahwa manusia melakukan tindakan di dalam atau melalui organisasi yang, dalam hukum keperdataan maupun di luarnya (misalnya dalam hukum administrasi), muncul sebagai satu kesatuan dan karena itu diakui serta mendapat perlakuan sebagai badan hukum atau korporasi. Berdasarkan KUHP, pembuat undang-undang akan merujuk pada pengurus atau komisaris korporasi jika mereka berhadapan dengan situasi seperti itu. [8] Sehingga, jika KUHP Indonesia saat ini tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk pertanggungjawaban pidana oleh korporasi, namun hanya dimungkinkan pertanggungjawaban oleh pengurus korporasi. Hal ini bisa kita lihat dalam pasal 398 KUHP yang menyatakan bahwa jika seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau perkumpulan korporasi yang dinyatakan dalam keadaan pailit atau yang diperintahkan penyelesaian oleh pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun 4 bulan: 1. jika yang bersangkutan turut membantu atau mengizinkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasar, sehingga oleh karena itu seluruh atau sebagian besar dari kerugian diderita oleh perseroan, maskapai, atau perkumpulan…(dan seterusnya).
Di Belanda sendiri, sebagai tempat asal KUHP Indonesia, pada tanggal 23 Juni 1976, korporasi diresmikan sebagai subjek hukum pidana dan ketentuan ini dimasukkan kedalam pasal 51 KUHP Belanda (Sr.), yang isinya menyatakan antara lain:
1. Tindak pidana dapat dilakukan baik oleh perorangan maupun korporasi;
2. Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi, penuntutan pidana dapat dijalankan dan sanksi pidana maupun tindakan yang disediakan dalam perundang-undangan—sepanjang berkenaan dengan korporasi—dapat dijatuhkan.
Dalam hal ini, pengenaan sanksi dapat dilakukan terhadap korporasi sendiri, atau mereka yang secara faktual memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana yang dimaksud, termasuk mereka yang secara faktual memimpin pelaksanaan tindak pidana dimaksud, atau korporasi atau mereka yang dimaksud di atas bersama-sama secara tanggung renteng.
Meskipun KUHP Indonesia saat ini tidak mengikutsertakan korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, namun korporasi mulai diposisikan sebagai subyek hukum pidana dengan ditetapkannya UU No.7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Kemudian kejahatan korporasi juga diatur dan tersebar dalam berbagai undang-undang khusus lainnya dengan rumusan yang berbeda-beda mengenai “korporasi”, antara lain termasuk pengertian badan usaha, perseroan, perusahaan, perkumpulan, yayasan, perserikatan, organisasi, dan lain-lain, seperti :
• UU No.11/PNPS/1964 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi
• UU No.38/2004 tentang Jalan
• UU No.31/1999 jo. UU No.21 tahunn 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
• dan lain-lain
Dalam literatur Indonesia juga ditemukan pandangan yang turut untuk mewacanakan menempatkan korporasi sebagai subyek hukum pidana. Seperti misalnya Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH, dalam bukunya “Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia”, menyatakan : Dengan adanya perkumpulan-perkumpulan dari orang-orang, yang sebagai badan hukum turut serta dalam pergaulan hidup kemasyarakatan, timbul gejala-gejala dari perkumpulan itu, yang apabila dilakukan oleh oknum, terang masuk perumusan pelbagai tindak pidana. Dalam hal ini, sebagai perwakilan, yang kena hukuman pidana adalah oknum lagi, yaitu orang-orang yang berfungsi sebagai pengurus dari badan hukum, seperti misalnya seorang direktur dari suatu perseroan terbatas, yang dipertanggungjawabkan. Sedangkan mungkin sekali seorang direktur itu hanya melakukan saja putusan dari dewan direksi. Maka timbul dan kemudian merata gagasan, bahwa juga suatu perkumpulan sebagai badan tersendiri dapat dikenakan hukuman pidana sebagai subyek suatu tindak pidana.
Di Indonesia, salah satu peraturan yang mempidanakan kejahatan korporasi adalah Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Hal ini dapat dilihat dari isi pasal 46 yang mengadopsi doktrin vicarious liability. Meskipun tidak digariskan secara jelas seperti dalam KUHP Belanda, berdasarkan sistem hukum pidana di Indonesia pada saat ini terdapat 3 bentuk pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan korporasi berdasarkan regulasi yang sudah ada, yaitu dibebankan pada korporasi itu sendiri, seperti diatur dalam Pasal 65 ayat 1 dan 2 UU No.38/2004 tentang Jalan. Kemudian dapat pula dibebankan kepada organ atau pengurus korporasi yang melakukan perbuatan atau mereka yang bertindak sebagai pemimpin dalam melakukan tindak pindana, seperti yang diatur dalam pasal 20 ayat 2 UU No.31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan UU No.31/2004 tentang Perikanan. Kemudian kemungkinan berikutnya adala dapat dibebankan baik kepada pengurus korporasi sebagai pemberi perintah atau pemimpin dan juga dibebankan kepada koorporasi, contohnya seperti dalam pasal 20 ayat 1 UU No.31/1999.
BAB III Pembahasan
3.1 Contoh Kasus Kejahatan Korporasi
DUGAAN PENGGELAPAN PAJAK IM3
IM3 diduga melakukan penggelapan pajak dengan cara memanipulasi Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai ( SPT Masa PPN) ke kantor pajak untuk tahun buku Desember 2001 dan Desember 2002. Jika pajak masukan lebih besar dari pajak keluaran, dapat direstitusi atau ditarik kembali. Karena itu, IM3 melakukan restitusi sebesar Rp 65,7 miliar.
750 penanam modal asing (PMA) terindikasi tidak membayar pajak dengan cara melaporkan rugi selama lima tahun terakhir secara berturut-turut. Dalam kasus ini terungkap bahwa pihak manajemen berkonspirasi dengan para pejabat tinggi negara dan otoritas terkait dalam melakukan penipuan akuntansi.
Manajemen juga melakukan konspirasi dengan auditor dari kantor akuntan publik dalam melakukan manipulasi laba yang menguntungkan dirinya dan korporasi, sehingga merugikan banyak pihak dan pemerintah. Kemungkinan telah terjadi mekanisme penyuapan (bribery) dalam kasus tersebut.
3.2 Analisis Kasus Jika dilihat dari contoh kasus diatas telah terjadi kerjasama antara orang dalam pada perusahaan IM3 dengan pegawai pajak sehingga IM3 bisa menggelapkan dana dan memanipulasi SPT masa PPn di kantor pajak. Pihak pemerintah dan DPR perlu segera membentuk tim auditor independen yang kompeten dan kredibel untuk melakukan audit investigatif atau audit forensik untuk membedah laporan keuangan dari 750 PMA yang tidak membayar pajak. Korporasi multinasional yang secara sengaja terbukti tidak memenuhi kewajiban ekonomi, hukum, dan sosialnya bisa dicabut izin operasinya dan dilarang beroperasi di negara berkembang. Agar tidak terulang masalah yang sama dan merugikan pihak lainnya.
BAB IV Kesimpulan Dan Saran
4.1 Kesimpulan
Dalam menjalankan bisnis pada perusahaan jangan sesekali melakukan kejahatan korporasi seperti menggelapkan pajak. Seharusnya kewajiban untuk membayar pajak harus dilakukan dengan benar. Jangan mementingkan urusan pribadi untuk medapatkan keuntungan yang lebih agar perusahaan dapat bertahan dan terus jaya. Lakukan lah sesuai dengan etika yang berlaku.
4.2 Saran
Bagi perusahaan yang melakukan kejahatan korporasi di beri hukuman serta sanksi yang tegas, supaya tidak mengulangi kesalahan yang sama. Apalagi yang berhubungan dengan pajak harus di berantas karena merugikan negara dan masyarakat.
Daftar Pustaka:
http://bismar.wordpress.com/2009/12/23/kejahatan-korporasi/
http://id.wikipedia.org/wiki/Pertanggungjawaban_korporasi
http://www.ercolaw.com/index.php?option=com_content&view=article&id=65:perbuatan-pengurus-dan-pertanggungjawaban-korporasi&catid=25:the-project&Itemid=50
http://www.tempo.co/read/news/2003/11/04/05627427/Ditjen-Pajak-Akan-Usut-Dugaan-Penggelapan-Pajak-IM3
http://andyaksalawclinic.blogspot.com/2011/05/kejahatan-korporasi.html